Selasa, 5 Januari 2010
Entah sebabnya malam ini begitu tebal rasa malas datang bertamu. Demi memanjakan sang tamu, ku langkahkan kaki ku keluar dari kamar kost yang begitu pelit dengan angin segar. Ya, sekedar mencari hiburan mengusir rasa penat ku menjalani aktivitas yang mulai berarah pada kejenuhan.
Benar saja. Pendopo ISI Surakarta yang ku jambani begitu ramai dikunjungi manusia. Malam ini tengah berlangsung Pentas Awal Tahun, HMJ Tari sebagai penyelenggara.
Memang kedatanganku sedikit terlambat, mestinya aku datang lebih awal untuk dapat menyaksikan keseluruhan rangkaian acara. Tak ingin ketinggalan lebih jauh, aku langsung mencari space yang nyaman untuk menangkap tawaran hiburan malam ini. Lakon Gatotkaca menjadi awal yang cukup menghibur, aku mulai menikmati. Lebih dari itu, reaksi para penonton pun tak luput dari perhatianku. Sekitar ratusan penonton mengisi ruang pendopo, depan, kiri, kanan, bahkan pelataran pendopo pun terlihat menjadi tempat yang sangat mengasikkan. Mereka terhibur?
Lanjut para penari kontemporer dengan begitu ekspresif memberi pesan tentang kegalauan masyarakat urban pada angkutan rakyat (baca: kereta). Musik yang dinamis sedikit memancing ku untuk turut bergoyang (t.e.t.a.p.i. menghindari hal2 yang tak diinginkan, ku hanya menggoyangkan kedua jempol jari tanganku saja. Kaya dangdutan gitu! hhh). Meriah tepuk tangan di tambah riuh sorak-sorakan menyambut dan mengakhiri pertasnya.
Tibalah beberapa penari selanjutnya yang menawarkan menu cross gender dengan lincahnya bergerak kesana kemari. Lepas suara tawa penonton begitu ramai terdengar, aku pun merupakan bagian dari itu. Memang dengan konsep seperti yang mereka tawarkan begitu mudah menarik urat tawa kita, sehingga begitu banyak yang berani mengambil peran tersebut. Ruang inilah yang sering dipakai sebagai jembatan untuk membuat penonton tertawa, bahkan terbahak-bahak. Bukankah begitu banyak para pekerja seni pertunjukan khususnya pelawak yang sukses dengan peran ini! Padahal kalau kita bersifat kritis mungkin sebagian dari mereka bukan sekedar memainkan peran, tetapi memang bener-bener 'b.a.n.c.i' (hihihi, but nebak2 aja!).
Lepas dari itu, kota ini memberi kesan tersendiri bagi ku. Kota yang tak pernah jauh dari pertunjukan, baik musik, tari, teater, pameran rupa-rupa, dan lain sebagainya, tradisi, kontemporer, populer, begitu intens terselenggara. Kondisi yang menguntungkan para pekerja, penggiat, dan penikmat seni. Unsur-unsur yang saling bersinergi menelurkan keberlangsungan. Masyarakat setempat pun memberi sikap yang diwujudkan dengan apresiatif. Pernah pada suatu waktu aku dan teman ku sengaja menghadiri dua pertunjukan sekaligus pada satu malam di tempat yang berbeda, dan dari kedua tontonan tersebut tak ada satu pun yang sepi pengunjung, kedua-duanya sama ramainya. Padahal kalendernya 'musik keroncong' dan etnomusikologi. Sikap yang mampu memberi energi positif terhadap musik tradisi. Walaupun tidak seluruh yang memberi perhatian, namun sebagian dari itu mampu memberi kehidupan pada seni. Bahkan mungkin lebih dari cukup. Porsi ini pun di ambil berdasarkan parameter ku tersendiri, terukur karena racun budaya mulai menyerang kearifan lokal.
Keberlangsungan ini merupakan fenomena yang menarik. Peran pemerintah setempat menjadi penting di sini, berbagai fasilitas yang disediakan menjadi lahan tumbuhnya kreativitas seni. Pelajar, mahasiswa, dan pekerja seni terpacu untuk terus menghasilkan karya. Hingga pada waktunya menjadi pertunjukan yang menarik. Sungguh korelasi yang tersistematis. Nampaknya pun mereka semua begitu menjaga keberlangsungan ini. Ya, meskipun tak luput dari kepentingan-kepentingan tersembunyi. Jelasnya mereka selalu menjauh dari kata puas, sehingga langkah untuk mencapai hasil maksimal selalu terarah. Hmm, benar juga. Yang namanya puas itukan seringkali menghentikan langkah kita, bukan?
Hah, tak terasa lima batang rokok habis kujadikan asap, tenggorokan mulai terasa dahaga, sebaiknya aku bersiap. Tari ala Banyumasan menjadi rangkaian penutup acara malam ini, dan tak lupa tepuk tangan penutup ku hadiahkan untuk mereka yang memberi ku tontonan gratisan. Mampu memaksa kami semua tertawa meninggalkan lelah.
Baiknya ku ajak kaki ku melangkah menjambani angkringan di hangatnya mie rebus dan wedang jahe.
Sala, 06.01.2010
Kamis, 28 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar