Meniduri kota Solo, di bulan kedua lewat sekian hari, aku bosan berdiam di kamar kost saja. Ya, hari ini aku akan melangkahkan kaki (ehhh, gowes sepeda deh...) mengubur kebosananku sesaat di penjara label kost, Solo.

Solo (Sala) itu ya, merupakan nick name dari kota Surakarta. Secara aku sendiri dulu masih belum paham yang mana namanya Solo yang mana Surakarta. Eh, gak taunya sama aja! Menurut sejarahnya, dahulu Solo atau Surakarta merupakan daerah daerah istimewa loh, sama halnya seperti Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi sayangnya status tersebut tidak berumur panjang karena terjadi revolusi sosial, hingga pada akhirnya berubah menjadi wilayah kerasidenan. Di bawah pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono XII, kerasidenan Surakarta mempunyai wilayah yang cukup luas meliputi Kota Surakarta, Karanganyar, Sukowati, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali. Meskipun di masa pemerintahan sekarang karesidenan Surakarta sudah tidak berlaku lagi, tapi warga dari daerah tersebut tetep menyebut dirinya orang 'Solo'. Mereka bangga dengan identitas ‘Cah Solo’, mungkin juga bagian untuk membedakan diri mereka dengan orang dari wilayah Jawa tengah yang lain seperti Semarang dan Yogya. Nah, di salah satu tempat ada wisata Tawangmangu. Nah, sekarang aku mo ceritain perjalanan ku menuju Tawangmangu.
Begini ceritane,
Tawangwangu yang merupakan obyek wisata di Solo, letaknya di kabupaten Karanganyar. Tawangmangu di kenal sebagai obyek wisata pegunungan di lereng barat Gunung Lawu, seperti air terjun Grojogan Sewu, air terjun Pringgodani, Puncak Lawu, Sentra Tanaman Hias di desa Nglurah, bumi perkemahan, dan tempat olahraga keren Flying Fox. Katanya sih bisa ditempuh dengan kendaraan darat (mobil atau motor) selama sekitar satu jam dari kota Surakarta (Solo). Tapi cerita itu salah, gak bener menurut ku. Karena untuk menuju ke sana aku menghabiskan waktu sampai enam jam lebih (Loh kenapa mas? Kok lama bener!). Ya iyalah, orang pake sepeda gowes! Hehehe...
Tepatnya Sabtu pagi ku ajak paksa sepedaku keluar dari kost yang belum bisa membuat aku betah berdiam diri. Tanpa banyak persiapan ku mulai perjalananku dengan apa adanya, apa-apa ada? Ya gak ada apa-apa. Berbekal daypack ala backpacker aku mulai menyisir jalan pukul enam pagi lewat lima belas menit. Keluar dari kost langsung menuju salah satu warung di daerah Palur, di sana aku menambah bekal dengan membeli air mineral Pocari Sweet (bukan sponsor loh!) untuk menambah stamina. Tanpa tergiur dengan sarapan pagi yang dijajakan warung tersebut ku mulai menggowes lagi sepedaku. Eitss, tak lupa helm merah kesayangan tetep harus dipakai, ya biar safety gitu!
Melewati Palur dan aku sempat berpapasan dengan rombongan berpeseda. Kelihatannya sih orang klab, berbeda dengan ku yang suka ke mana-mana sendiri (padahal lagi gak ada temen yang bisa diculik untuk ikut, hehehe). Mereka terlihat kompak sekali, tapi aku yang sendiri gak mau kalah. Aku sih cuek aja, toh malah mereka kok yang pada merhatiin aku (mereka pikir aku gila kalee...)
Kemudian aku berhenti sejenak di depan Universitas Terbuka kota Solo, tempat itu merupakan tempat terjauh yang pernah aku tempuh pake sepeda motor. Tetapi beda kali ini, sekarang aku telah melewatinya dengan bersepeda, uhuiyyy...
Masuk ke daerah Karanganyar, aku mulai menemui suasana persawahan yang memberikan kesejukan, udaranya masih sejuk banget. Udara segar yang tak dapat kujumpai sehari-hari. Toh pada dasarnya manusia memang membutuhkan udara segar atau oksigen yang bersih, sementara ruang kost ku tidak cukup memiliki sistem alur udara atau ventilasi yang baik. Atau mungkin Anda mengalami hal yang sama? Hayoo! Mau tidak mau harus kita sadari hal tersebut menjadi permasalahan kita, terlebih aktivitas jalanan sehari-hari memberi polusi seperti asap pembuangan kendaraan. Jadi betapa bahagianya bisa mendapati udara segar saat ini.
Sambil menghirup udara segar aku melanjutkan menggowes pedal sepeda dengan kakiku waktu demi waktu. Sesaat perutku yang belum diisi mulai berasa juga lapernya, lalu aku berhenti sejenak di warung tahu kupat, di seberang jalan dan maju sedikit dari monumen KB Karanganyar. Tapi saat di warung itu malah gak ada niat makan atau sarapan, gak tau juga napa? (padahal mo ngirit hi..hi..hi..). Jadinya di warung tersebut aku sekedar minum teh hanget sekaligus numpang istirahat sejenak. Sekitar 5 menit kemudian melanjutkan lagi perjalananku.
Menurut sumber yang kubaca, sebenernya bila melakukan perjalanan bersepeda jarak jauh belajarlah memanajemen waktu dan stamina, jangan terlalu banyak berhenti dalam arti tetapkan pos-pos pemberhentian, dan waktu yang digunakan saat berhenti harus konstan, plus jangan minum air es! Bisa bahaya! Hal ini coba kuterapkan, ya setidaknya belajar mengelola resiko (risk management) dan meminimalkan dampaknya.
Tetapi, masih di Karanganyar jalanan sudah mulai menanjak dan aku sudah mulai merasa capek, kedua kakiku mengajak beristirahat sejenak dan aku pun berhenti lagi akhirnya. Padahal sudah ku coba menjaga waktu untuk istirahat, ahh bodo deh! Sesaat kulihat jam sudah pukul sembilan lebih, tak ingin berlama-lama kulanjutkan perjalanan dengan sisa-sisa tenaga.
Sulit memang untuk mengatur tubuh yang tak terlatih. Mana daerah yang ku tuju adalah daerah pegunungan, jadi jalur yang di tempuh tak lain adalah tanjakan, fiuhhh melelahkan! Semangat ku mulai turun mengetahui kondisi yang seperti ini, tetapi yang namanya mundur dari tantangan itu bukanlah diriku. Dengan bekal tekad aku harus meneruskan perjalanan tunggal ini.
Kuatur posisi gigi sepedaku dengan speed yang paling ringan, meskipun perjalanan menjadi lambat karena putaran gear-nya yang kecil, tapi langkah ini sedikit mengurangi beban. Beban yang kubawa sedikit lebih ringan, tapi yahhh apa daya! Dengan jalur tanjakan berkelok-kelok seperti ini sungguh menguras tenaga.
Begitu memasuki daerah Karangpandan, kakiku sangat lelah dan semangatku semakin down, serasa sudah gak sanggup lagi. Berhenti sejenak di warung pinggir jalan, aku kelelahan, istirahat yang panjang kuhabiskan di warung ini. Sempat aku makan indomie rebus dan minum teh anget untuk menambah stamina tubuh. Sambil melepas lelah ku coba bertanya-tanya pada si pemilik warung.
“Bu’e masih berapa jauh ke Tawangmangu?” tanyaku.
Lantas si bu’e menjawab “Oh mo ke Tawangmangu toh!
“#$%@#$%&#%&#%&#%^!$@^..............!#$%^&(&*9689%6”
Mendengar jawabnya si bu’e aku terkejut. Secara jarak dari Solo kota ke Tawangmangu kurang lebih 70 km, perjalanan yang ku tempuh memang kurang lebih sudah separuhnya, berarti sekitar 40-an km lebih aku bersepeda. Tapi jalur yang telah kulalui belum ada seberapa jelasnya. Sontak semangatku semakin turun, fiuhhh... ingin rasanya kembali pulang saja.
Antara rasa lelah dan kebulatan tekad menyelimuti. Namun akhirnya, dengan mengambil pepatah kakek moyang ‘bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian’ (bukannya mati kemudian mas?) akhirnya kuputuskan untuk maju. Mengingat jalan yang kulalui adalah tanjakan, so pasti pulangnya nanti pasti turunan, jadi bisa nyantai dan gak bakalan capek. Dengan semangat membara (seperti Son Goku di film Dragon Ball yang keluar api-apinya, hehehe) kulanjutkan perjalananku.
Tapi apa daya semangat tinggal semangat, tenagaku tak cukup mampu melewati jalur seperti ini. Aku tak tahan lagi, tanpa pikir lagi langsung berhenti dipinggir jalan setelah belokan. Persetan dengan Tawangmangu! Pikirku. Sekitar lima belas menit aku istirahat, untuk menunaikan tekad aku mulai berpikir untuk mencari tumpangan mobil. Target utama adalah mobil pick-up karena gak mungkin bus angkutan umum atau mobil pribadi bersedia memberi tumpangan. Kuamati mobil-mobil yang lewat satu per satu. Satu dua mobil kuberi tanda dengan melambaikan tangan simbol butuh tumpangan, tapi mereka cuek bebek dan bablas aja. Sampai mobil ketiga yang kulambaikan tangan berhenti karena melihat mukaku yang begitu memelas. Huh..
“Mo kemana mas?” tanya si ibu yang duduk di depan samping sopir.
“eee, Tawangmangu bu” jawabku polos.
“Ayo naik” jawab si ibu yang kebeneran memang tujuannya ke Magetan, Jawa Timur, jadi melewati puncak katanya.
“Yes! Berhasil” teriakku dalam hati.
Ku angkat sepedaku dan kuletakkan di bak mobil, lalu aku duduk sembari memegangi sepedaku. Karena jalannya tanjakan dan berkelok-kelok jadi harus aku pegangi biar gak kenapa-napa.
Di atas mobil sambil melepas lelah, kunikmati perjalanan dengan hembusan angin sejuk membelaiku. Kumanjakan kedua mataku menikmati pemandangan nuansa pegunungan yang begitu menawan. Oh indahnya! Sampai akhirnya kurang lebih pukul dua belas aku diturunkan tepat di puncak lawu. Ucapan terima kasih pun kuhaturkan pada si ibu dan mas sopir yang dengan berbaik hati bersedia memberiku tumpangan. “Maturnuwon bu, mas” ucapku.
Sesampainya di puncak aku gak bisa berkata apa-apa, mobil yang aku tumpangi pun menggunakan tenaga penuh untuk melewati jalur tersebut. Untungnya si mas supir sudah terbiasa sepertinya.
Melangkah sedikit menuju Cemoro Sewu aku menjumpai beberapa pendaki yang baru turun dari Puncak Lawu. Sambil melepas lelah, kami berkenalan dan saling bercerita. Udara dingin memaksaku untuk membakar rokok. *udud sik...
Memang Cemoro Sewu merupakan salah satu jalur menuju puncak gunung Lawu. Gunung Lawu dengan ketinggian 3.265 meter memang di kenal sebagai gunung yang mempesona, statusnya gunung api yang istirahat, maksudnya sudah gak tidak aktif lagi. Selain menyimpan banyak misteri, di lereng gunung ini terdapat percandian peninggalan masa Majapahit loh, namanya candi Sukuh dan candi Cetho. Wuihh keren ya! Sayangnya waktu belum mengizinkan aku ke sana, so lain waktu aja deh, hehehe
Sembari udud dan minum teh anget, kami bercerita lebih jauh. Nampaknya mereka mendaki cuma semalam, sekedar menikmati sunset katanya. Cerita punya cerita, sayangnya mereka tidak begitu menghargai perjuanganku ke sini dengan bersepeda, fuhh. Tak apalah, bukan maksudku, yang penting tujuan ku ke sini tercapai hehehe...
Suasana pegunungan memang sudah lama tak kujumpai. Aku sangat menikmati. Lelah yang tadi menyerang begitu besarnya sirna hilang seketika. Karena begitu dingin, celana jeans yang kubawa langsung kupakai menutupi celana pendek yang telah ku pakai sebelumnya. Saat itu udara berhembus dingin sekali, satu dua batang rokok plus teh anget kupaksa menemaniku...
Setelah kurang lebih satu jam menikmati suasana Cemoro Sewu aku bersiap pulang. Dengan berbekal pengalaman saat pergi, pulang ini aku merasa lebih santai. Benar saja! Perjalanan pulang ku lalui tanpa hambatan sama sekali. Aku meluncur dengan indahnya melewati turunan tanpa repot menggowes pedal sepedaku. Hanya saja aku dituntut pandai2 mengendalikan diskbrake dan stang sepedaku. Jangan sampai lengah atau oleng! Bahaya!
Sampai akhirnya kubelokkan sepedaku menuju obyek wisata air terjun Grojogan Sewu. Di tempat ini juga tersedia fasilitas kolam renang, flying fox, dan jangan khawatir, buat yang kepengen ‘tuttttttt' [sensor] ada juga penginapan, hehehe... Tapi untuk menuju ke air terjun ini tidak gampang, harus menuruni anak tangga yang berjejer dengan rapinya. Namun perjuangan itu terlunaskan setelah melihat salah satu keindahan ciptaan Tuhan. Air terjun yang mempunyai ketinggian sekitar 81 meter sungguh menawan, indah sekali. Sungguh takjub melihatnya!
Melengkapi perjalanan, tak lupa menikmati sate kelinci khas Tawangmangu ditemani keluarga monyet setempat yang duduk manis di sekelilingku (reuni ya mas?). Begitu lahapnya para sate ku makan, entah karena emang enak atau rakus?
Sadar dengan waktu yang harus ku tempuh pulang butuh waktu panjang, aku tak bisa berlama-lama. Setelah istirahat makan sate, aku memutuskan untuk segera melakukan perjalanan pulang. Namun kedua kakiku ditantang lagi untuk menaiki anak tangga satu per satu. Huhhh, melelahkan!
Sampai akhirnya ku ambil sepedaku di parkiran dan aku bersiap pulang dengan melewati jalur yang sempat menghalangku sewaktu perjalanan pergi. Sekarang apa yang dikatakan kakek dan nenek moyang ‘bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian’ aku rasakan.
Perjalanan pulang ini lebih mengasyikkan, dan akupun meluncur like a rocket!
yuuhuuuuuuu.......
*Gila di 14 November 2009